sungguh, ibu banyak melakukan hal yang sangat berarti kepada kita, mulai dari kecil sampai sekarang, lagu di atas mengingatkan kita akan betapa mulianya ibu.
SELAMAT HARI IBU
Dipostkan oleh : Hendro Wijayanto
Blog ini bermaksud untuk meningkatkan jiwa nasionalisme seluruh lapisan masyarakat. Khususnya anak-anak kawula muda yang sudah mulai luntur jiwa nasionalismenya terhadap Bangsa Indonesia. Ilmu pengetahuanpun dapat di peroleh dari blog ini. Teknologi tercipta untuk kemajuan bangsa, bukan disalah gunakan, dan bukan di dikotomikan dengan hal-hal yang negatif.
WHO AM I ?
Abraham lincoln Presiden ke-16 Amerika Serikat (1809-1865) menyatakan “Jika saya punya waktu delapan jam! untuk menebang pohon, Saya akan menghabiskan waktu enam jam! untuk mengasah kapak”. Sebuah perumpamaan yang sangat dalam artinya jika kita mencoba mengkaitkannya dengan ketrampilan interpersonal. Seperti yang dikatakan Lincoln setiap interaksi harus diawali dengan persiapan yang matang agar mendapatkan hasil yang memuaskan dan memberikan keuntungan. Untuk itu penting artinya jika kita akan membangun hubungan dengan orang lain, maka kita harus menyiapkan diri kita secara positif. Kata kunci dari semuanya itu adalah “penerimaan”. Penerimaan bisa berupa senyum yang tulus, sambutan yang hangat, komunikasi yang konstruktif, keinginan untuk saling membantu, penuh dengan solusi, dan lain sebagainya. Jika hal itu yang kita inginkan dalam kegiatan komunikasi dengan orang lain, maka siapkan diri sahabat.
Who Am I
Dalam membangun dan menyiapkan diri sahabat agar mampu berinteraksi dengan orang lain dalam kerangka ketrampilan interpersonal adalah mengenali diri sahabat sendiri. Pengenalan diri penting artinya agar kita mampu untuk mengetahui konsep diri kita, dan selanjutnya dengan konsep diri tersebut akan muncul potensi-potensi dalam diri kita yang dapat dikembangkan.
Seringkali ketika sahabat diminta untuk memberikan definisi “siapa saya”, maka terkadang jawaban yang mengalir sangat terbatas. Keterbatasan itu nampak bahwa definisi yang disebutkan adalah terbatas yang bisa dicermati dengan indera mata (dapat dilihat). Contohnya, saya seorang laki-laki, lahir dimana, ibu bapaknya siapa, tinggal dimana, dan seterusnya. Nah keterbatasan definisi inilah yang kemudian menjadi permasalahan yang tidak sederhana, karena kita memandang diri kita pada daerah yang sangat sempit yaitu sebatas apa yang bisa kita lihat. Hal inilah yang menghambat sahabat untuk dapat mengenal diri kita secara menyeluruh (komprehensif)
Untuk dapat membangun diri kita dengan baik, maka harus mendefinisikan siapa diri kita secara menyeluruh. Menyeluruh tidak sebatas apa yang kita lihat, namun juga apa yang kita dengan, kita rasakan, dari pengalaman hidup dan pola interaksi yang telah kita buat sebelumnya ataupu pandangan orang lain terhadap kita. Ada cara untuk mengenal diri kita dengan baik. Hal ini dapat dilakukan dengan:
Menyusun daftar kelemahan dan kelebihan kita. Hal ini dapat anda lakukan dengan mudah. Namun harus diusahakan untuk tetap jujur. Kadang dalam tahapan ini sahabat akan cenderung lebih cepat dalam mencermati sisi kelemahan. Artinya apa , bahwa sebagai pribadi kita terlalu sering memikirkan tentang kelemahan diri kita. Padahal kita sadar bahwa setiap manusia itu juga dianugerahi kelebihan. Dengan semakin sering dipikirkan, maka terkadang pikiran itu akan diaplikasian dalam bentuk perilaku. Dengan kondisi ini maka secara tidak sadar apa yang kita lakukan setiap hari adalah representasi dari kelemahan kita. Pada saat itulah kita akan mengalami masa dimana kita selalu menganggap rendah diri kita dan kurang menghargai diri sendiri. Menurut Lawrence J. Crabb Jr ”kebutuhan pribadi yang mendasar dari setiap orang adalah untuk menganggap dirinya sebagai pribadi yang berharga”.
Pandangan orang lain tentang kita. Kita juga mampu menemukan diri kita dengan mencermati lingkungan dimana kita sering berinteraksi didalamnya. Komponen-komponen lingkungan tersebut akan memberikan respon terhadap tingkah laku, sikap, sifat, yang kita tunjukkan pada lingkungan. Orang lain tersebut bisa teman, tetangga, keluarga, ataupun orang lain yang berhubungan dengan kita. Respon setiap orang tentang apa yang kita lakukan bisa jadi berlainan, maka kita harus cermat untuk memikirkannya. Jangan sampai terlalu emosional untuk mengambil respon yang terlalu cepat atas penilaian lingkungan terhadap kita. Oleh karena itu kita semestinya harus berhati-hati. Nah, jika tidak hati-hati maka kita akan terjerumus pada konsepsi yang salah tentang diri kita, dan itu adalah bentukan lingkungan, bukan kita sesungguhnya. Dr. Maxwell Maltz, kita adalah apa yang kita pikirkan.
Dalam proses yang lebih dalam kita mengenal apa yang disebut sebagai pengembangan kepribadian. Proses ini merupakan manifestasi/perwujudan ketrampilan sosial dan pengenalannya terhadap diri sendiri. Dengan definisi diatas kegiatan pengembangan diri akan diperoleh secara maksimal jika ada dua langkah besar yaitu pertama, mengenal dirinya sendiri secara utuh dan kedua perwujudan ketrampilan sosial yang diimplentasikan melalui kemampuan berkomunikasi, ketrampilan interpersonal, memiliki jaringan pertemanan yang luas. Dengan dua langkah besar ini maka manusia akan terus mengalami perkembangan baik secara emosional, spiritual dan intelektual.
Ada tiga hal yang dapat kita telaah dari proses pengenalan diri:
Merupakan proses menggugah kesadaran tentang diri sendiri melalui intropeksi/evaluasi secara jujur, objektif.
Proses menyadari sisi positif dan sisi negatif diri sendiri
Proses evaluasi/intropeksi melalui bantuan orang lain atau umpan balik
Ada tiga teori pembentuk kepribadian manusia:
Teori Nature : Teori ini berpendapat bahwa kepribadian manusia itu terbentuk dari bawaan lahir. Teori ini sangar percaya bahwa pada saat dilahirkan manusia telah memiliki kepribadian yang seperti saat dia dewasa. Dengan kemampuan itulah manusia mencoba menjadi dirinya sendiri sesuai dengan kodrat lahiriah yang dia bawa dari garis keturunannya. Contohnya seorang anak yang lahir dari pasangan olahragawan, bisa jadi telah memiliki potensi yang sama sejak lahir, sehingga kemungkinan besar ketika dewasa si anak akan menjadi olahragawan juga seperti orang tuanya.
Teori Nurture : Teori ini berpendapat bahwa kepribadian manusia terbentuk dari pengaruh lingkungan. Faktor luar tersebut bisa dari masyarakat, sekolah, pergaulan, buku, televisi, dan lainnya. Teori ini sangat tidak setuju bahwa manusia itu memperoleh bentukan kepribadia sejak lahir. Mereka dapat menjadi seperti saat ini karena terpengaruh oleh lingkungan dimana dia beriteraksi setiap harinya. Dengan proses inteksi tersebut maka anak akan memperoleh pengalaman, ketrampilan, pengetahuan. Dengan modal itulah anak menjadi dirinya saat dia dewasa kelak. Sehingga belum tentu anak seorang pemimpin, nanti ketika dewasa dia juga memiliki jiwa pemimpin, jika tidak dilatih, di didik dan diberikan pengalaman dalam memimpin.
Teori Konvergensi : Teori ini berpendapat bahwa manusia itu sebenarnya dibentuk atas dua komponen. Pertama, sejak lahir dia secara genetik memang telah memiliki karakter, sifat, dan potensi yang diturunkan oleh orang tua atau darah keturunannya. Setelah potensi itu ada, maka harus ditemukan, dan diasah dengan cara yang tepat oleh lingkungan. Tentu saja, dengan pendidikan, pelatihan, yang sesuai. Dengan demikian, maka akan terbentuk sebuah bentukan kepribadian yang kuat. Karena terdapat keseimbangan dalam pengembangannya. ”Sebuah pisau dilahirkan dengan tajam, karena berguna untuk memotong sesuatu. Pisau tersebut akan berguna jika digunakan dengan tepat. Dengan sering digunakan, diasah dengan rutin, maka pisau akan semakin tajam. Pun jika pisau tersebut tidak digunakan, karena tak menemukan fungsinya, dan hanya diletakkan dipojok dapur. Maka pisau tersebut akan berkarat, tumpul, dan akhirnya tidak dapt digunakan sebagaimana mestinya”.
Apa yang dapat kita cermati dari proses pengembangan Kepribadian:
Dalam pengembangan merupakan proses yang selalu berkesinambungan dan tidak akan pernah berhenti, selama kita memiliki hasrat untuk tetap eksis. Proses ketrampilan sosial yang diperoleh seseorang dari pengenalan terhadap dirinya sendiri dan pengenalan terhadap lingkungan
Proses mengasah sifat-sifat baik dan mengurangi sifat-sifat jelek.
Proses menggali dan mengembangkan potensi yang dimiliki sehingga dapat berperan secara optimal dan membentuk pribadi yang mandiri
Proses mengembangkan bakat yang dimiliki, meningkatkan PD dan mewujudkan kepribadian plus
Tujuan dari pengembangan kepribadian adalah sebagai berikut:
Jangka pendek untuk mewujudkan potensi yang dimiliki. Mewujudkan potensi bisa diartikan memunculkan potensi-potensi yang kita miliki ke permukaan agar bisa diasah dan dilatih dengan tepat. Kondisi ini kan membuat kita mampu untuk senantiasa merasa berharga dengan potensi prima yang ada dalam diri kita
Dapat berperan secara optimal sebagai makhluk social. Dengan potensi tersebut maka kita akan percaya diri dalam berinteraksi dengan lingkungan. Dengan iteraki tersebut maka akan terjadipertukaran peran dan fungsi, dimana akan saling menguntungkan. Setiap peran yang kita lakukan untk lingkungan pasti membawa sesuatu yang baik, terutama untuk diri kita.
Mendapatkan nilai tambah baik untuk diri sendiri maupun lingkungan. Nilai tambah tidak selau berwujud finansial ataupun fisik. Namun penghargaan, pengakuan, kepercayaan, rasa hormat atas apa yang kita lakukan dimasyarakat merupaka wujud nyata dari sebuah nilai tambah.
MENEGAKKAN KEMBALI IDEAL NASIONALISME INDONESIA
Oleh: M.D. Kartaprawira
Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 adalah Proklamasi Kebangsaan Indonesia yang merupakan ikrar tentang eksistensi nasion dan nasionalisme Indonesia yang telah tumbuh puluhan tahun dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Perjuangan bangsa Indonesia tersebut pada tanggal 17 Agustus 1945 mencapai titik kulminasi dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta. Hal itu membuktikan bahwa nasionalisme Indonesia sudah merupakan faktor penentu perkembangan sejarah Indonesia – sejarah berdirinya negara Republik Indonesia.
Substansi Nasionalisme Indonesia mempunyai dua unsur: Pertama; kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku, etnik, dan agama. Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala bentuk penjajahan dan penindasan dari bumi Indonesia. Semangat dari dua substansi tersebutlah yang kemudian tercermin dalam Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dengan jelas dinyatakan “atas nama bangsa Indonesia”, sedang dalam Pembukaan UUD 1945 secara tegas dikatakan, "Segala bentuk penjajahan dan penindasan di dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Proklamasi Kebangsaan Indonesia tersebut dalam sejarah perkembangannya telah memberi makna yang sangat signifikan bagi nation building dan pemantapan kesadaran nasionalisme Indonesia. Proses pengembangan kesadaran nasionalisme Indonesia dipelopori oleh Bung Karno (terutama) sejak masa mudanya, yang berkeyakinan bahwa hanya dengan ide dan jiwa nasionalismelah sekat-sekat etnik, suku, agama, budaya dan tanah kelahiran bisa ditembus untuk menggalang persatuan perjuangan melawan kolonialisme. Dalam artikel-artikelnya, banyak pidato dan diskusinya masalah nasionalisme dengan gencar diperjuangkan oleh Bung Karno. Bahkan sekat-sekat ideologipun oleh Bung Karno ditebas tanpa ampun demi perjuangan tersebut (baca: “Nasionalisme, Islam dan Marxisme” yang ditulis Bung Karno 1926.).
Berdirinya Republik Indonesia tersebut telah memberi bukti bahwa nation Indonesia beserta kesadaran nasionalismenya tidak hanya eksis, tapi hidup-aktif dalam pengembangan dirinya dan dalam kehidupan masyarakat antar bangsa. Eksistensi nasion dan nasionalisme Indonesia adalah fakta obyektif yang tidak dapat dinegasikan oleh teori-teori atau analisis-analisis apapun. Analisis atau pandangan yang menyimpulkan bahwa “IndonesiĆ« bestaat niet” (Indonesia itu tidak ada) dengan alasan kata “Indonesia” berasal dari asing telah mengalami kegagalan, tidak laku dijajakan sebagai wacana untuk memanipulasi nasionalisme Indonesia dan untuk memecah belah bangsa serta integritas NKRI. Suka atau tidak suka, harus diakui keberadaan bangsa Indonesia dengan kesadaran nasionalismenya, dan keberadaan negara Indonesia dengan segala atributnya sebagai suatu fakta yang tidak dapat disangkal oleh siapapun.
Bicara tentang nasionalisme Indonesia, perlu dicatat bahwa kita tidak bisa menerapkan padanan dengan nasionalisme Barat. Sebab nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang berpondasi Pancasila. Artinya nasionalisme tersebut bersenyawa dengan keadilan sosial, yang oleh Bung Karno disebut Socio-nasionalisme. Nasionalisme yang demikian ini menghendaki penghargaan, penghormatan, toleransi kepada bangsa/suku bangsa lain. Maka nasionalisme Indonesia berbeda dengan nasionalisme Barat yang bisa menjurus ke sovinisme -- nasionalisme sempit – yang membenci bangsa/sukubangsa lain, menganggap bangsa/sukubangsa sendirilah yang paling bagus, paling unggul dll. sesuai dengan individualisme Barat. Nasionalisme Indonesia sampai tahun 1965 sudah mantap bersemayam di dada bangsa Indonesia. Tahap nation building telah tercapai dan bersiap-siaga untuk menuju ke tahap berikutnya – state building, yang terhambat dan rusak berat dalam perjuangan untuk nation building, perjuangan melawan pemberontakan-pemberontakan dan sisa-sisa kolonialisme. Tapi tahap perjuangan state building ini ternyata terpangkas oleh timbulnya peristiwa G30S dan berdirinya kekuasaan rezim Orde Baru/Jendral Soeharto.
Dewasa ini harus diakui bahwa kesadaran Nasionalisme sedang mengidap banyak masalah berat, yang memerlukan pembenahan secara serius. Kegagalan pembenahannya akan mempunyai dampak terhadap persatuan bangsa dan kesatuan negara Indonesia. Dengan kilas balik ke sejarah lampau, kita melihat jelas bahwa selama Indonesia dalam kekuasaan rezim Orba berlaku tatanan pemerintahan kediktatoran-militer yang anti demokrasi, anti national, anti HAM, anti hukum dan keadilan, yang menumpas ideal nasionalisme Indonesia. Kekuasaan demikian, yang berlangsung selama 32 tahun dan menggunakan pendekatan kekerasan, telah mematikan inisiatif dan kreativitas rakyat, memperbodoh rakyat. Di sisi lain tindakan rezim Orba tersebut menumbuhkan kebencian rakyat mendasar, terutama rakyat luar Jawa yang merasakan kekayaan alamnya dijarah dan kebudayaannya dieliminir. Maka tidaklah salah kalau dikatakan terjadi penjajahan oleh rezim Orba/rezim Soeharto. Kolonialisme Orba ini meskipun hanya 32 tahun (suatu jangka waktu relatif pendek jika dibandingkan dengan penjajahan kolonialisme Belanda) menjajah Indonesia tapi kerusakan yang diakibatkannya telah menimbulkan krisis multi dimensional yang luar biasa, kemelaratan dan kesengsaraan rakyat yang tak terhingga. Dari situasi yang demikian itu rakyat daerah luar Jawa merasakan ketidak adilan yang sangat mendalam, yang mengakibatkan tumbuhnya benih-benih gerakan disintegrasi dalam negara Indonesia. Di samping itu konflik yang bernuansa SARA, mis.: antara suku Dayak dengan suku Madura (di Kalimantan), antara ummat Kristen dengan ummat Islam (di Maluku dan Sulawesi), penganiayaan fisik dan pengrusakan hartabenda etnik Tionghoa (di Jakarta) dll. adalah juga tengara retaknya bangunan nasionalisme Indonesia.
Maka dengan demikian menjadi jelas bahwa sumber keretakan bangunan nasionalisme tersebut, adalah kekuasaan rezim Orde Baru di bawah pimpinan jendral Soeharto. Tanpa mengetahui sumber malapetaka tersebut kita tidak akan bisa dengan tepat memperbaiki/menyehatkan nasionalisme Indonesia yang sedang sakit tersebut.
Sedang hujatan-hujatan terhadap “Pusat” tanpa kejelasan Pusat itu siapa, akan mengarah kepada solusi yang keblinger, yang hanya akan memperparah nasionalisme yang sedang sakit dewasa ini. Mengacu pada uraian di atas Pusat harus diartikan kekuasaan rezim Orba (termasuk rezim Habibie). Akan tidak benarlah kalau pemerintahan Gus Dur dan pemerintahan Megawati dimasukkan dalam kategori Pusat yang harus dikutuk seperti rezim Orba. Sebab tanpa menutup kekurangan-kekurangannya pemerintahan Gus Dur dan pemerintahan Megawati adalah pemerintahan reformasi yang terpaksa menerima warisan segala kebobrokan rezim Orba. Kedua pemerintahan tersebut tidak mungkin bisa memperbaiki keadaan negara yang amburadul dewasa ini, bahkan siapa pun yang akan memegang pemerintahan kelak. Kalau mereka bisa mengadakan seberapa pun perbaikan, itu adalah suatu kemajuan dan keberhasilan. Sedang pemlintiran kata “pusat” diidentikkan dengan suku Jawa (sehingga timbul tuduhan dijajah oleh Jawa), jelas hal itu bertujuan untuk menimbulkan rasa ketidaksenangan, permusuhan antara suku non-Jawa terhadap suku Jawa. Jadi kalau kita ingin mencari akar penyebab retaknya ideal nasionalisme Indonesia, tidak boleh tidak kita harus tunjuk hidung pada kekuasaan rezim Orde Baru/Soeharto, yang dengan kejam menjajah dan rakus menjarah kekayaan daerah.
Ada suatu pendapat bahwa nasionalisme rentan terhadap manipulasi (Arief Budiman). Pendapat tersebut tidak salah. Tapi perlu penegasan lebih lanjut, bahwa tidak hanya nasionalisme saja yang rentan manipulasi, pun hukum, demokrasi, humanisme, keadilan, Pancasila demikian juga. Kerentanan itu harus dipandang sebagai konsekwensi/akibat proses demokrasi yang belum mantap dan budaya orba yang masih eksis di semua lapangan kehidupan. Pengalaman tragedi bangsa dan negara selama 32 tahun dalam kekuasaan rezim orde baru telah membuktikan hal tersebut. Bahkan apa saja bisa dimanipulasi oleh rezim Orde Baru kala itu dengan segala cara termasuk politik kekerasan.
Tapi akan menuju ke kesimpulan sesat apabila kerentanan nasionalisme dikarenakan oleh bentuk negara: negara kesatuan atau negara federal, tanpa menunjukkan raison d’etre sesungguhnya yaitu politik diktatur-fasis penyelenggara negara yang berkuasa saat itu (orde baru). Sebab manakala seseorang tidak mengkaitkan kebobrokan bangsa dan negara ini dengan kekuasan rejim orde baru sebagai sumber penyebabnya, maka kesimpulannya akan tidak jujur dan tidak obyektif. Baik hal itu kebobrokan dalam bidang kehidupan bermasyarkat dan bernegara maupun dalam bidang-bidang khusus – hukum, keadilan HAM, ekonomi, moral/budaya. Dengan demikian, manakala seseorang mempersoalkan bentuk negara kesatuan RI sebagai penyebab rusaknya nasionalisme Indonesia tidak bisa dibenarkan. Dan dari situ, juga tidak dapat dibenarkan solusi pembentukan negara federasi sebagai penyembuh nasionalisme Indonesia yang sedang sakit dewasa ini.
Acuan pada kasus runtuhnya Uni Soviet dan Yugoslavia tidaklah bisa membuktikan kebenaran tesis di atas. Pertama-tama, banyak orang dari permulaan tidak melihat bahwa sesungguhnya negara-negara tersebut adalah negara federasi. Bahkan sistem federasi Uni Soviet mempunyai struktur yang paling desentralistik di dunia : Uni Soviet sebagai Negara Federasi, terdiri a.l. negara bagian yang berbentuk federasi juga (misalnya negara bagian Rusia), sedang di dalam struktur beberapa negara-bagian yang lain terdapat republik-otonom, yang semuanya lengkap dengan segala alat perlengkapan negara. Tapi toh Negara Federasi Uni Soviet jatuh berantakan. Dengan demikian solusi pembentukan negara federal dalam kaitannya dengan masalah nasionalisme Indonesia tidak dapat dibenarkan.
Di samping itu masih ada lagi alasan-alasan yang tidak membenarkan solusi pembentukan negara federal di Indonesia:
a. Dalam situasi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang sangat rawan dewasa ini (gagasan) pembentukan negara federal sama artinya mengobarkan dan mempercepat proses disintegrasi. Sesungguhnya solusi pembentukaan otonomi luas bagi daerah-daerah sudah tepat sekali, meskipun realisasinya masih menghadapi kendala-kendala yang sangat serius.
b. Dalam membaca peta politik dewasa ini tampak bahwa kekuatan Orde Baru masih utuh di mana-mana, bahkan konsolidasinya makin menguat. Kalau pada era kejayaannya, semboyan “mempertahankan Negara Kesatuan (NKRI)”, semata-mata sebagai taktik untuk mempermudah realisasi strategi kolonialisme terhadap daerah-daerah. Maka dalam era reformasi dewasa ini gagasan pembentukan Negara Federal akan merupakan kesempatan bagus bagi kekuatan Orde Baru untuk mendirikan rezim-rezim Orba di daerah-daerah, sebab mereka memiliki sumber dana dan sumber daya manusia sangat besar.
Dari persoalan-persoalan yang terurai di atas, sampailah pada pertanyaan bagaimana perspektif nasionalisme Indonesia ini. Di kalangan masyarakat timbul pandangan pesimistik, yang menjadi dasar pendorong untuk pembenaran gagasan-gagasan disintegrasi. Tapi di samping itu terdapat pandangan optimistik yang cukup kuat. Penulis yang termasuk dalam golongan terakhir berpendapat, bahwa nasionalisme Indonesia bisa “sehat”, sebab sebagian besar rakyat Indonesia masih teguh jiwa patriotismenya, cinta bangsa dan tanah air Indonesia. Tapi hal itu sulit akan terjadi apabila tidak didasari oleh upaya-upaya serius oleh penyelenggara negara untuk:
1. Pembangunan ekonomi di semua daerah secara merata dan realisasi otonomi daerah secara luas.
2. Penegakan demokrasi yang tidak anarkhistik, supremasi hukum yang berkeadilan dan demokratik.
3. Penggalakan kehidupan bersuasana toleransi, aman-damai dan rukun dalam masyarakat yang multi agama, suku, etnik dan budaya.
Kegagalan atas upaya tersebut di atas akan mempercepat berlanjutnya proses penipisian kesadaran nasionalisme Indonesia, yang akan berakibat semaraknya gerakan disintegrasi bangsa dan negara. Inilah tugas berat pemerintahan Megawati dewasa ini. Tetapi tuntutan yang tidak proporsional terhadap Megawati adalah suatu kecupetan pikir. Sebab sebagai pemerintahan transisional dia tidak mungkin mensukseskan tugas-tugas di atas secara tuntas, dan cepat berhubung kerusakan yang diakibatkan oleh rezim Orba begitu hebat. Mungkin dalam waktu 10 tahun mendatang baru akan tampak hasil yang signifikan. Jadi kalau sekarang ini pemerintahan Megawati sudah “berhasil” menenteramkan kerusuhan-kerusuhan di Maluku, Sulawesi Utara dan Kalimantan Tengah; kalau dia berhasil mengerem laju proses disintegrasi di beberapa daerah, men”stabil”kan ekonomi sudah dapat dikatakan suatu kesuksesan. Maka adalah tugas kita semua untuk membantu pemerintahan Megawati dalam memperbaiki kerusakan-kerusakan negara dewasa ini. Penggoyangan pemerintahan Megawati, apalagi seruan penggulingan terhadapnya, adalah tindakan tidak bertanggung jawab dan berpenyakit kekanak-kanakan (kekiri-kirian), yang akan hanya menguntungkan kekuatan Orde Baru saja yang kini masih kuat bercokol di semua bidang. Memang pemerintahan Megawati memiliki tidak sedikit kekurangan, tapi itu adalah kekurangan obyektif dalam situasi transisi dewasa ini. Jadi strategi dan taktik perjuangan harus disesuaikan dengan peta politik dewasa ini.
Mau tidak mau PDI Perjuangan harus diakui sebagai benteng pertahanan nasionalisme (sosio-nasionalisme) yang kini menghadapi lawan politik yang tidak ringan. Maka perpecahan di dalam partai yang dilanjutkan dengan pembentukan partai-partai baru oleh beberapa tokoh yang nyempal, dapat disesalkan. Dan lebih disesalkan lagi “hantaman” dari salah satu keluarga Bung Karno sendiri terhadap pemerintahan Megawati. Bukankah itu semuanya merupakan tindakan pecah belah kekuatan nasionalis? Yang seharusnya mereka semua – kaum nasionalis – menyatukan diri mensukseskan tugas pemerintah untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan akibat kezaliman rezim Orba? Dalam hal ini wajar adanya pertanyaan: siapa yang diuntungkan? Tentu saja jawabnya: kekuatan Orde Baru. Apakah ini bukan berarti terperangkap dalam skenario licin, licik dan jijik dari kekuatan Orde Baru? Mudah-mudahan kekuatan nasionalis menyadari hal tersebut dan bersatu dalam satu front perjuangan politik demi keselamatan Negara Kesatuan RI, Pancasila dan UUD 45. Hanya dengan demikian ada harapan besar untuk suksesnya penegakan ideal nasionalisme Indonesia yang telah dicabik-cabik oleh kekuasaan fasis Orde Baru.